MENCARI KEKHASAN BATIK JAWA TIMUR
Sejarah
batik di Jawa Timur merupakan bagian dari asal muasal kegiatan
pembatikan yang diyakini bermula di abad XVII pada zaman Kerajaan
Majapahit (ibukotanya di Trowulan, Jawa Timur). Selanjutnya batik
berkembang terus pada masa kerajaan Mataram (di Jawa Tengah) dan
Surakarta serta Yogyakarta.
Dalam rentang waktu
cukup panjang, dunia batik di berbagai wilayah kabupaten di Jatim
memiliki perkembangannya sendiri. Hal itu ditandai dengan bermunculannya
industri skala mikro kecil maupun skala rumah tangga yang terus
menghasilkan produk dengan motif dan pewarnaan khas daerah
masing-masing.
Ketekunan para pembatik itu
menjadikan usaha batik tulis tetap eksis hingga tenaga-tenaga trampil
yang menggunakan alat produksi berupa canting dan bahan baku malam
berangsur mencapai usia lanjut.Tetapi generasi berikutnya tidak rela
jika potensi batik tulis di daerah masing-masing terancam punah. Itulah
sebabnya, maka digali kembali jenis motif batik tulis khas daerah di
Jatim bahkan dikembangkan pula motif baru, termasuk pengembangan aspek
teknis pemrosesan serta upaya perluasan pasarnya.
Langkah-langkah pembaruan dalam industri batik tulis
itu berdampak positif terhadap meningkatnya harga jual produk tersebut
menjadi berkisar Rp100.000 – Rp1 juta per lembar bahkan hingga Rp1,5
juta per lembar sesuai bahan baku kainnya. Pasar domestik pun mampu
menyerap batik dengan harga setinggi itu, tetapi para pembatik juga
berpeluang memasarkan hasil produksinya ke mancanegara.
Sebagai
contoh, Ernawati, pimpinan usaha Batik Erna Mojokerto telah melakukan
menghidupkan dan mempopulerkan kembali motif-motif batik tulis khas
Mojokerto seperti mrico bolong, rawan inggek, pring sedapur, koro
renteng, sisik gringsing, matahari.Keenam motif itu merupakan bagian
dari puluhan motif kekayaan batik khas Mojokerto, dimana Ernawati
melanjutkan kegiatan pembatikan yang telah bertahun-tahun dilakukan
orangtuanya.
“Kami juga telah mempatenkan keenam
motif batik tulis khas Mojokerto itu melalui fasilitasi dari Pemkot
Mojokerto,” ujar Ernawati yang membuka tempat usaha di kawasan
Surodinawan, Kota Mojokerto.Ernawati kini telah eksis di dunia
perbatikan dengan didukung sedikitnya 15 karyawan. Dia rajin mengikuti
pameran sebagai upaya memperluas pasar, setelah berhasil menjangkau
kota-kota di Jatim, Yogyakarta, Jakarta dan kota lain di luar Jawa.
Relief candi
Dalam
mewujudkan atau memunculkan produk batik khas daerah tertentu di Jatim
agaknya tidak selalu mudah, terutama daerah-daerah yang tidak memiliki
tradisi membatik yang kuat dan keberlanjutannya telah terpotong. Kondisi
tersebut mengakibatkan para pembatik generasi seperti kehilangan jejak
atas karya yang telah dikembangkan generasi terdahulu.
Ambil
misal dalam memunculkan batik khas Pasuruan, pembatiknya lantas
mengangkat potensi lokal seperti keberadaan bunga sedap malam yang
banyak dibudidayakan petani setempat.“Kami juga mencari referensi di
situs kuno yakni relief candi peninggalan Raja Airlangga, untuk menggali
motif untuk diangkat dalam produk batik tulis khas Pasuruan,” tutur
Ifa, pimpinan usaha batik Dinar Agung, Pasuruan, belum lama ini.
Pimpinan
Batik Sekar Jati, Ririn Asih Pindari, juga melakukan langkah serupa
dalam menggali batik tulis khas Jombang.“Kegiatan membatik di Jombang
telah dilakukan sejak zaman Belanda, kemudian mengalami kevakuman cukup
lama dan kami mencari motif di peninggalan purbakala yakni Candi Arimbi
yang terdapat relief berisi kekayaan budaya maupun alam,” ujarnya, belum
lama ini.
Tak pelak, para pembatik di
kabupaten/kota lainnya di Jatim juga terus menggali kekhassan
masing-masing. Upaya itu juga dipicu oleh semakin meningkatnya minat
pasar terhadap batik, terlebih-lebih batik telah diakui Unesco sebagai
warisan budaya dunia, sehingga orang merasa bangga mengenakan batik.
Related Posts :
Post :
0 komentar:
Posting Komentar